pada akar
pada ibunda malam ini aku bertanya
padanya kucabut jembut jerabut gelisah
dari gadis kecil yang menjelma nenek sihir,
ku bertanya, padamu bunda,
kapan
kapan ku pernah bersaksi
atas penciptaku dan menteri-menterinya (jika ia punya)
kapan pernah ku alami kejadianku itu, ibu
bau vaginamu saja aku tak ingat
demikianlah lupa, jawabnya bersahaja
kau lupa maka aku wajib mengingatkan
begitu rupanya, aku meraba
aku lupa, beliau mengingatkan, beliau pun lupa, beliau lain mengingatkan.
terus ingat mengingatkan hingga akarnya
akar lupa
kemana aku boleh ingat?
pada siapa aku akan ingat?
di mana ku bisa berbaring lelap dalam ingat!
I may be
I am maybe not the happiest person you’ve ever known
and I don’t have the smiley face
I often get bored
with your common topics
I don’t have much money
to spend on Starbucks everyday
but you know I am tender
with every hug I give,
every joke I tell to cheer you
I am not a jealous person
You know that
I don’t want the spotlight
I just want to be your friend
Memoa returns
I remember how it feels every morning I wake
Every dream scenes that still last and felt like reality
I drunk the best shots in my dream…
please….please…please
how strong Miss Keisha she still needs… help.
(knive in the water)
sesat selesat kulihat cahya
gelap gemerlap dalam talu tanyaku
bilung beliung rekat belulangku
menyesap telusup Kau
dalam sela nafasku
berketuk detak Kau
di degap degup jantungku
ah…pelita,
Kau menggelak gelitik
ribut serabut ruang sadarku.
March 24 2009
malam ini saya tanya
siapa saya
saya sia-sia siapa saya
mengapa saya saya?
mengapa saya siapa
mengapa nyatakan tanya
mengapa tanya nyata
dan saya tidak
saya tidak nyata
buktinya saya sia sia
saya tidak tau siapa sepi siapa saya
saya yang sepi atau sepi yang saya?
ah..nyerah!
bersandar pada jendela
muka dibelai angin
muka muka mu ka mu kamu siapa?
tanya jendela.
kamu ingat rumah?
ingat daging?
punya kulit?
ngalir darah?
nostalgia layaknya cermin
namun cerminmu patah berkeping-keping
ping keping keping
keping keping ping
ping kepong ping
ping ping kepompong
kepompong jadi kupu-kupu
kupu-kupu hinggap di kuping
hai kupu-kupu,
apakah kau ingat dulu kau kepompong?
tanyaku.
Lara Underdrug
siapa pemilik waktu? tanya Lara
siapa yang menarikku dari detik detak mati?
siapa pemilik terang
yang mengenalkanku dengan kelam..?
siapa pengendali hasrat
yang mendekatkanku dengan pasrah?
apakah aku kulitku
apakah dagingku aku
apakah jantungku aku
apakah detaknya aku
darahku kah aku?
rasaku kah aku?
sepiku kah aku?
kaki atau kepalakah penopang tubuh untuk berdiri?
hati atau syarafkah penopang diri untuk tetap disini…
rasa atau sadarkah yang harus ku ikuti
Lara,
siapakah aku?
kesepian itu lebih hangat dari termos perebus kopi
bunda,
mengapa bersedia kau lakukan apapun
demi sebuah dunia yang tak kau pahami,
tak kau cintai,
kau tentang logikanya,
kau takuti.
bunda,
mungkin rahimmu itu dunia tersendiri
yang tak kau pahami,
tak kau cintai,
kau tentang logikanya,
kau waspadai.
dari mana datangnya aku, bunda?
dari situ. dunia yang tak kau kenal,
yang kau beri helaan nafas lelah
“Mama ngga ngerti duniamu!”
gigit bibir. lidah layu. mata kelu.
dengan apa mampu ku membayarnya?
semua makna,
dengan tetanda yang tak kau pahami,
dan tak dapat kuterjemahkan.
bahkan nafasku saja
masih bau amis darahmu
sungguh tak pantas ku membenci,
walau sedetik saja.
tak patut ku mendendam
atas masa silam yang kelam.
semua berkaitan.
rantai naratif sejarah
yang tak terjewantahkan dalam sadar pikir kita, bunda.
dendamku. lalaimu.
ada satu permintaanmu yang tak dapat kuturuti:
merobek lembaran buku harian.
bukan untuk menyimpan dendam,
namun setiap kesakitan akan melahirkan karya.
seperti kesakitanmu melahirkan aku.
dan untuk itu,
dunia yang tak kau pahami kau benci kau tentang logikanya ini,
sepi hanyalah tanda.
semua makna menuju padamu.
don’t play life like a bet, honey..
… jadilah kami terlempar
pada dimensi-dimensi tak berkakuan
namun terpisah dan tak ada daya
untuk dikomunikan
Ia terbang kemana, saya jatuh kemari
Saya terpental kesana,
Ia berdiri disini.
Dan kami jalan berkakuan
dalam metafor mimpi
merayakan jejak
merayakan langkah
yang dengan beraninya menapak tilas
merayakan lisan
yang berani mengutarakan kejujuran
bukan ku memaki langit dimana tanah dipijak
namun langit itu tak lagi jadi peneduh bagiku
dan ku lihat, pula tak akan meneduhkan adik-adikku
kecuali jika atap langit itu
sekokoh langit yang menghujaniku tiga tahun lalu
seperti bilangan, dan bukan angka
mencipta reinkarnasi
untuk ia yang telah lama tidur
di dasar jantung
endapan ginjal
dan setelah ia bangkit,
pun tak ada hubungannya dengan persaudaraan
yang kalian sorakkan
berhentilah mendongeng
tentang komuni hati
seribu insan yang bergabung tanpa seleksi
sepatu
dalam tanah,
pada batu,
dan terutama dinding-dinding yang pernah kita sandari
jampi, sajak, sumpah serapah kita tersimpan
namun ada yang lebih canggih dalam menyimpan semua itu.
sepatu.
iya! sepatu-sepatu butut kita. kemanakah mereka?
sepatu-sepatu butut itu mengenali aliran darahmu, dan hafal dengan siklusnya.
Ia tau saat jemarimu mengerut menahan amarah begitu kuatnya
Ia kenal dingin kakimu saat grogi salah tingkah jatuh cinta
Ia memberi makna pada setiap langkahmu
Ia berjalan dalam waktu,
dan mungkin ia lebih sadar daripada kamu!
mungkin, setelah kutinggalkan…
sepatu bututku sedang mencari sepatu butut teman-temanku
karena ia merindu langkah,
menagih sumpah,
dan menunggu celoteh impian kita sampai meraih nyata…
selamat melangkah, kawan!